Jumat, 09 November 2012

dunia pesantren,


A.     Pondok Pessantren
a.      Pengertian pondok  pesantren
Pengertian dasar pesantren, adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah / tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu, di samping itu kata pondok juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama.
Sebenarnya penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karaktr keduanya . Pondok pesantren menurut M. Arifin berarti ,
Suatu lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar , dengan system asrama dimana santri menerima pendidikan agama melalui system pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari seeorang atau beberapa kiyai dengan cirri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.
Dalam penelitian Pesantren di definisikan sebagai  suatu tempat  pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan di dukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.
b.      Tujuan Pesantren
Tujuan umum pesaantren adalah membina warga Negara agar berkepribadian muslim sesuia dengan ajaran-ajaran agama islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan Negara.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:
1.      Mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan, dan sehat lahir batin sebagai Negara yang berpancasila.
2.      Mendidik santri untuk menjadikan manusia Muslim  selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah islam secara utuh dan dinamis.
3.      Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
4.      Mendiddik santri untuk membantu meningkatkan keejahteraan social masyarakatlingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.
c.       Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam
Ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukan unsur-unsur pokoknya, yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu adanya pondok sebagai tempat tinggal kiyai bersama para santrinya , adanya smasjid sebagai pusatt kegiatan ibadah dan belajar mengajar, adanya kiyai sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran kitab-kitab islam klasik. Unsur-unsur pokok tersebut, teteap ada dan bertahan walaupun secara kuantitatif dan kualitatif telah mengalami perubahan.
Adanya pondok  sebagai tempat tinggal bersama antara kiyai dan para santrinya, dan bekerjasama untuk memenuhi kehidupan sehari-hari merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di surau atau masjid serta langgar.
Masjid yang merupakan unsure pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjama'ah .
Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah, bahwa dalam pesantren diajarkan kitab-kitab klasik, yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama islam dan bahasa Arab.Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana ,kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam.
Di samping itu pesantren memilliki cirri-ciri yang khas,yang memberikan arah dan merupakan jiwa dari pendidikan pesantren, yaitu:
1.      Pendidikan di pesantren bukan semata-mata memperkaya pikiran santri dengan berbagai macam pengetahuan dan informasi serta penjelasan-penjelasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan, tetapi juga bertujuan untuk mempertinggi moral,  menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati.
2.      Dalam hubungannya dalam kewajiban menuntut ilmu, di tekankan bahwa belajar di pesantren tujuannya bukanlah untuk mengejar kekuasaan, uang dan keagungan duniawi tetapi di tanamkan pada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban agama dan ibadah kepada Allah.
3.      Dalam hubungannya dengan kehidupan duniawi pesantren mengadakan berbagai latihan untuk dapat hidup mandiri dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain, kecuali kepada Allah.
d.      Sistem pendidikan dan pengajaran di pesantren
Pada dasarnya ada duaa cara mengajar yang digunakan dalam pesantren, yaitu cara sorogan, dan cara bandungan. Sorogan, disebut juga sebagai cara mengajar perkepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kyai atau qari.
Cara bandungan sering  disebut weton, khalaqah. Khalaqah artinya lingkaran. Para santri duduk di sekitar kiyai dengan membentuk lingkaran. Dengan cara bandungan atau halaqah ini, kyai mengajarkan kitab tertentu kepada sekelompok santri. Dengan cara halaqah ini, para santri juga di dorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Metode bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Zamakhasyari Dhofer menerangkan bahwa dandongan ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterrjemahkan,menerangkan dan mengulas buku-buku islam dalam bahasa Arab sedangkan para santri mendengarkannya.
Dengan cara ini para santri juga di dorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Santri yan rajin dan mempunyai kecerdasan tinggi tentu ia akan cepat menjadi ‘alim. Walaupun evaluasi secra formal tidak ada dalam pesantren namun dengan cara ini dapat di ketahui kemampuan para santri-santri pemula dan secara tidak langsung akan teruji ke’alliman dan kepandaiannya.
Dewasa ini, padaa garis besarnya pesantren dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1.      Pesantren tradisional, yang masih mempertahankan system pembelajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik, diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah umummulai dari tingkat dasar atau menengah, dan ada pula pesantren-pesantren besar sampai perguruan tinnggi.
2.      Pesanntren modern, yang mengintegrasikan secara penuh system klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok dan terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab tidak lagi menonjol, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi. Demikian cara bandungan dan sorogan mulai berubah bentuk menjadi bimbingan individual dalam hal belajar dan kuliah ceramah umum, atau stadium general.
B.     Madrasah
a.      Pengertian dan latar belakang timbulnya
  Madrasah, (bahasa Arab) yang berarti tempat untuk belajar. Padanan madarasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, dengan konotasi yang khusus yaitu sekolah-sekolah agama islam. Dalam arti tempat belajar, madrasah memang berasal dari dunia islam, sebagai tempat mengajarkan dan mempelajri ajaran-ajaran agama islam, illmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pad zamannya.
Madrasah, mulai didirikan dan berkembang di dunia islam sekitar abad  ke 5 hijriah. Pada masa itu ajaran agama telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan , dengan berbagai macam aliran atau madzab dan pemikirannya. Pembidangai ilmu pengetahuan tersebut , bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al Qur’an dan Al hadits, seprti ilmu-ilmu al Qur’an, hadits, fiqh,kalam, tetapi juga bidang-bidang astronomi, filsafat, kedokteran, matematika, dam berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Sebagaimana halnya dengan pesantren, adalah merupakan lembaga mandiri yang sangat tergantung kepada kemampuan pendirinya. Sementara madrasah yang hanya mampu menyelenggarakan satu kelas permulaan, ada pula yang mampu menyelenggarakan pendidikan tingkat awal sampai dengan tingkat tinggi. Disamping itu, terdapat pua variasi dalam rencana pelajarannya, baik dalam tingkatan maupun materi pelajarannya. Walaupun tidak ada pembagian tingkatan, seperti ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah namun diantara madrasah yang satu dengan yang lainya, belum terdapat keseragaman isi atau kurikulumserta rencana pelajaran.
b.      Sistem pendidikan dan pengajaran di Madrasah
Sistem pendidikan dan pengajaran yang di gunakan di madrasah adalah perpaduan antara system pada pondok pesantren atau surau/langgar dengan system yang berlaku pada sekolah-sekolah moderen. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti system secara klasikal, pengajian kitab, dig anti deengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya pondok mulai ditinggalkan, dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti system yang sama dan sekolah-sekolah modern, namun pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah, dimana mata pelajaran agama dengan menggunakan kitab-kitab bahasa Arab.
Kurikulum Madrasah, masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok. Kriteria yang ditetapkan oleh mentri agama untuk madrasah yang ada dalam wewenangnya  adlah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit enam jam seminggu.
Adapun madrasah khas Indonesia yang di kelola oleh kementrian Agama setelah masa  kelerdekaan tampak menjadi jelmaan upaya konkret pemerintah menjenbatani kesenjangan antara dua model pendidikan tersebut. Konsep tersebut tampak pada format materi pelajaran sekitar 70% materi agama dan 30% materi umum pada awal kemunculannya. Namun, tepatnya dalam 1975, keluar surat keputusan bersama(skb) 3 menteri :menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri agama, menteri dalam negeri yang  mengubah format materi pelajaran madrasah menjadi sekitar 70% materi umum dan 30% materi umum.
C.     Sekolah
a.       Latar belakang
Bentuk lain lembaga pendidikan islam di Indonesia  selain pondok pesantren dan madrasah adalah sekolah. Jika di bandingka dengan dua lembaga tersebut yang lebih menitik beratkan pada pelajaran agama islam, maka sekolah cendrung menggunakan system pendidikan sekolah umum yang memberikan pelajaran umum dalam porsi lebih besar di sanping pelajaran agama.
mengenais

Kamis, 08 November 2012

Al Quran


Al-Qur'an Turun Secara Bertahap
Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui proses yang disebut inzal, yaitu proses perwujudan Al-Qur’an dengan cara: Allah mengajarkan kepada Malaikat Jibril, kemudian Malaikat Jibril (atas izin Allah) menyampaikan kepada Nabi Muhammad.
Pembahasan mengenai turunnya Al-Qur’an diantaranya merujuk pada :
  1. Qs. Al-Waqiah, 56 : 75, “Ialah Al-Qur’an yang mulia, di lauh mahfudz’
  2. Qs.Al-Baqarah, 2 : 185 “Bulan Ramadhan yang di dalamnya Al Qur’an diturunkan”
  3. Qs.Al-Qadr, 97 : 1, “Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.
Terhadap kenyataan berangsurnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad yang memakan waktu kurang lebih 23 tahun digunakan istilah : tanzil, telah memunculkan konsep teks eternal (azali) di lauh Mahfudz. Al-Qur’an telah dianggap ada secara utuh pada masa azali, yang kemudian diturunkan secara sekaligus dari lauh mahfudz ke langit dunia pada malam ketentuan/ lailatul qadar.
Kemudian diturunkan secara bertahap sebagai respon atas realitas dan faktor penyebab (asbab an-nuzul) yang dimulai pada satu malam di bulan Ramadhan. Sebagian besar ulama menerangkan bahwa malam tersebut adalah malam ke 17 di bulan Ramadhan.
Menjelajah belantara hipotesis tentang konsep  teks eternal yang dilakukan para ulama berkisar proses Al-Qur’an pra duniawi merupakan jelajahan yang rumit. Ruang pertanyaan atas hikmah penurunan Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia dan waktu kejadiannya apakah penurunan itu sebelum atau sesudah kenabian, berujung pada pada jawaban-jawaban spekulatif. Hal inilah sangatlah dimaklumi, karena Al-Qur’an tidak menjelaskan kerangkanya.
Al-Qur’an lebih banyak bertutur tentang kerangka duniawi dari proses penurunannya yang antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafalnya berbahasa Arab sebagai konteks sosiologis diturunkannya Al-Qur’an (Asy-Syu’ara, 26 : 192-195)
  2. Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah Saw. (Qs.Thaha, 20 : 102)
  3. Turunnya Al-Qur’an ke langit dunia (Qs.Al-Qadr, 97 : 1)
  4. Hikmah individual (bagi Nabi Muhammad Saw. sebagai penerima wahyu) (Qs.Al-Furqan, 25 : 32)
  5. Hikmah pembelajaran bagi kaum muslim (Qs.Al Isra, 17 : 106)
Fakta empirik berkaitan dengan sejarah Al-Qur’an menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Hal ini  telah melahirkan penolakan  di kalangan kaum musyrik Mekah. Mereka menginginkan kitab yang ‘matang’. Mereka meminta kepada Nabi Muhammad untuk menurunkan kitab dari langit, selain mukjizat-mukjizat lainnya.
Pertanyaan atau lebih tepatnya penolakan ini muncul karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada para nabi Bani Israel, bahwa kitab tersebut diturunkan secara lengkap dan terbukukan sebagaimana diturunkannya ‘lauh’ / lempeng ajaran kepada Nabi Musa as. Sikap mereka menolak model penurunan bertahap tersebut merupakan gambaran keraguan terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur pada konteks realita kemanusiaan menunjukkan dan menyingkapkan hubungan dialogis dan dialektis antara teks Al-Qur’an (ayat atau sejumlah ayat) dengan realitas.
Proses seperti itu juga menunjukkan bahwa Allah melalui teks Al-Qur’an kerap melakukan respon atas fenomena manusiawi. Proses ini dapat ditangkap dari adanya peristiwa-peristiwa yang mendahului teks (asbab an-nuzul) atau pertanyaan-pertanyan yang kemudian dijawab dengan turunnya ayat.
Disamping itu pengangsuran Al-Qur’an itu juga menunjukkan “strategi marketing” yang handal untuk digunakan di tengah masyarakat yang berkarakter lisan sehingga tidak masuk akal apabila kitab yang sedemikian panjang itu diberikan sekaligus.
Pemantapan hati yang disinggung dalam surah Al-Furqan, 25 : 32
“Dan berkatalah orang-orang kafir : “ mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya (muhammad) sekaligus saja?. Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)”.
Memahami ayat itu lebih dalam, mengindikasikan bahwa kondisi ‘penerima’ / Nabi Muhammad ikut dipertimbangkan. Sebab proses komunikasi wahyu amat sulit baginya. Paling tidak pada awal proses pewahyuan. Dalam persfektif personal Az Zarkasyi menuturkan :
“Oleh karena Nabi Muhammad seorang ummi, tidak dapat baca tulis, maka wahyu diturunkan secara bertahap agar mudah baginya untuk menghafal. Ini berbeda dengan nabi-nabi lainnya, sebab mereka dapat membaca dan menulis, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk menghafal semuanya meski diturunkan sekaligus”
Manna’ khalil Qattan dalam kitabnya Mabahis fi ‘Ulumil-Quran telah merangkai hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur diantaranya dengan mengemukakan sebuah ayat yang menegaskan masalah ini yaitu Qs. Al-Furqan, 25 : 32
Menilik rangkaian di atas, hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap :
  1. Untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rasulullah Saw.
  2. Untuk memberikan jawaban atas tantangan dan membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an.
  3. Untuk mempermudah penghafalan dan pemahaman.
  4. Pentahapan dalam penerapan hukum
  5. Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an bersumber dari Allah Swt. Meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama kurun 23 tahun, namun kandungannya tetap konsisten secara keseluruhan.
Dan, kini kita berhadapan dengan Al-Qur’an yang telah men-jilid. Satu kesatuan utuh yang terpelihara karena kolaborasi ‘rencana’ Allah Swt. dan upaya umat Islam untuk menjaga satu-satunya elemen rukun iman yang nampak.
Dari sisi peradaban umat Islam, kita juga telah menikmati hikmah dari berangsurnya Al-Qur’an diantaranya berupa konstruksi hukum Islam yang dibangun dengan fondasi pemahaman atas watak dialogis Al-Qur’an.